Pages

Rabu, 09 Mei 2012

Tomcat Teman Petani Jangan Dibunuh

VIVAnews -- Tomcat atau rove beetle sedang membuat pusing banyak orang. Serangga ini memang tak menggigit, tapi cairan yang ke luar dari tubuhnya bisa membuat kulit merah, gatal dan melepuh.

Tak hanya di Surabaya, serangan tomcat juga dilaporkan di Bekasi, Yogyakarta, dan Tuban. Bisa membuat anggota DPR resah, sementara pemerintah sampai menginstruksikan dua kementerian sekaligus, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian, untuk menangani hewan ini. Untuk memberantasnnya.

Namun, pakar penyakit, hama, dan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Suputa buru-buru mengingatkan, tomcat bukanlah hama yang pantas dibasmi.

Tomcat sejatinya adalah predator dan musuh bagi wereng, hama yang meresahkan para petani karena bisa menyebabkan gagal panen. "Tomcat ini adalah serangga berguna yang seharusnya dipindahkan ke lahan sawah," kata Suputa kepada VIVAnews.com, Rabu 21 Maret 2012.

Tomcat diberantas, risikonya wereng meraja lela. Suputa menjelaskan, tomcat suka hidup di tempat yang lembab. Namun serangga kecil ini tak suka air tergenang. "Untuk menangkapnya lebih efektif dengan lampu UV (ultraviolet)," kata dia.

Diwawacara terpisah, Kepala Bidang Pertanian, Disperindakoptan Kota Yogyakarta, Beny Nurhantoro membenarkan, tomcat adalah sahabat petani. "Ia adalah musuhnya wereng di sawah," kata dia pada VIVAnews.com, Rabu malam.

Dia mengatakan, meski baru mengemuka belakangan ini, serangan tomcat bukan kali pertamanya terjadi. "Jadi ini adalah peristiwa alamiah yang sangat mungkin terjadi setiap saat," kata dia. "Kebetulan saja sekarang ramai dan besar seperti yang terjadi di Surabaya karena media massa sekarang sudah canggih dan cepat mengekspose."

Jika tempatnya di sawah, mengapa tomcat bermigrasi ke pemukiman?

Benny menjelaskan, tomcat banyak ke luar dan hinggap di pemukiman saat musim hujan. "Yang mendukung tomcat itu keluar dari area persawahan dan masuk ke pemukiman adalah angin kencang," kata dia.

Serangan tomcat di pemukiman di Yogyakarta misalnya, karena dalam beberapa hari terakhir sering hujan. "Seperti tiga hari lalu pada saat malam hari Yogya diguyur hujan lebat dan angin kencang, itulah yang menyebabkan tomcat ini masuk ke pemukiman warga. Angin kencang itulah yang membantu penyebaran tomcat tersebut pindah ke pemukiman," kata dia.

Untuk mengatasi serangan tomcat ke manusia, mulai besok dinas pertanian akan menggandeng UGM untuk menangani serangga ini. Dipindah ke sawah. "Jadi bukan dibasmi karena serangga ini adalah sahabat kita," kata dia. (sj)

Sakit Langka, Bocah Ini Bagai Anak Penyu


VIVAnews - Tawa ceria menyelimuti hari-hari Didier Montalvo, 6 tahun. Bocah asal Kolombia itu kini bisa tumbuh seperti anak-anak normal lainnya setelah operasi pengangkatan tanda lahir raksasa dipunggungnya sukses dilakukan.

Didier menderita kondisi langka yang disebut Congenital Melanocystic Nevus (CMN). Tahi lalat raksasa ini merupakan tanda lahir yang berkembang dengan sangat cepat hingga menyelimuti seluruh punggung dan sebagian perutnya. Meski dikhawatirkan bisa berubah menjadi ganas, sang ibu, Luz, tak memiliki biaya operasi bagi buah hatinya tersebut.

Kondisi langka yang menjadikan punggung Didier bagai kura-kura ini membuat dia dan keluarganya dikucilkan warga di lingkungannya. Penyakit Didier dianggap bagian kutukan akibat kehamilan yang terjadi selama gerhana. Warga takut mereka tertular kekuatan jahat bila berdekatan dengan Didier. Sehingga, Didier tak dapat dibaptis maupun masuk sekolah.

"Aku ingin tumbuh normal.Tapi tahi lalat ini tidak membiarkan saya," katanya seperti dikutip Dailymail.

Berkat ahli bedah plastik terkemuka asal Inggris, Neil Bulstrode, 'cangkang' di belakang Didier berhasil diangkat. Bulstrode terbang ke Bogota ibukota Kolombia untuk membantu tim ahli bedah mengangkat tanda lahir Didier. Sebab dikhawatirkan pertumbuhan tahi lalatnya bisa menjadi tumor ganas.

Setelah operasi pengangkatan CMN, tim dokter melakukan serangkaian pencangkokan kulit. Operasi maraton ini membutuhkan biaya £ 45.000 setara Rp 669 juta.

Kepada Evening Standard, Bulstrode mengatakan, "Didier adalah kasus terburuk yang pernah saya lihat. CMN meliputi tiga perempat lingkar tubuhnya."

"Meskipun ia harus menjalani sejumlah operasi yang menyakitkan, tapi itu tak sia-sia. Saya sangat senang menyaksikannya sekarang dan melihatnya sembuh," kata Bulstrode.

Kendati penyebabnya tidak diketahui, para ahli menduga CMN disebabkan adanya perubahan dalam perkembangan sel-sel kulit selama masa embrio akibat mutasi gen. Bulstrode melakukan operasi pengangkatan 40 kasus CMN setiap tahun di Rumah Sakit Great Ormond Street dan pengalamannya dengan tim dokter di Bogotá diakuinya sebagai salah satu yang paling luar biasa. (umi)

Sindroma Langka, Bisa Meninggal Bila Dicium


VIVAnews - Graeme Warnell, 42, dan istrinya, Aga, 37, hanya memiliki waktu tiga sampai empat bulan untuk menyelamatkan hidup putrinya yang baru berusia 10 minggu. Mereka harus segera menemukan donor sumsum tulang belakang yang tepat.

Putrinya mengalami sindroma bayi menggelembung. Kondisi di mana bayi terlahir tanpa sistem kekebalan tubuh. Membuat tubuh bayi sangat lemah. Bahkan bisa meninggal hanya karena serangan flu biasa.

"Mulanya putri kami terlihat sangat sehat, tapi di usia dua minggu, ia mulai tak mau makan dan tubuhnya terus membengkak. Kami tahu ada sesuatu yang salah," kata Graeme, dikutip Daily Mail.

Diagnosis dokter meruntuhkan ketegaran keluarga asal Maidenhead, Berkshire itu. Jika penanganan terlambat, kondisi langka yang diperkirakan hanya menimpa satu dari 300.000 bayi di dunia itu biasanya membuat bayi hanya bertahan hidup beberapa bulan.

Bayi itu kini terisolir di sebuah ruang steril di Children’s University Hospital, Krakow, Polandia. "Saya sangat ingin menyentuh putri kecil saya dan menciumnya, tapi saya tak bisa. Semua itu bisa membunuhnya," kata Aga.

Seluruh keluarga sudah menjalani pemeriksaan untuk mengetahui kemungkinan menjadi pendonor. Termasuk dua anak tertua mereka. Namun, tak ada yang cocok. Di tengah pasrah, mereka kini berpacu dengan waktu menunggu "malaikat" yang bisa menjadi pendonor.

Sindroma yang menimpa bayi mungil itu biasanya ditandai dengan penurunan sistem kekebalan tubuh yang cukup kompleks. Suatu kondisi di mana tubuh bayi kekurangan sel T, sehingga tubuh sama sekali tak memiliki kemampuan melawan zat asing, seperti virus.

Hanya dengan pendonor yang tepat, anak itu akan memiliki kesempatan hidup 60-90 persen. "Ini adalah kondisi yang sangat sulit diobati, tugas kami saat ini menjaganya tak tersentuh infeksi dan virus. Semua orang di sini sedang berjuang untuk menyelamatkannya," kata Dr Pituch Noworolska, anggota tim dokter yang menangani anak itu. (eh)
 

Blogger news

Blogroll

About